Bagi masyarakat keturunan Bugis di Kalimantan Barat, Rabu minggu terakhir pada bulan Safar, pada kalender Hijriah, merupakan hari yang selalu diperingati dengan sebuah tradisi. Tradisi Robo-robo. Maksud dari kegiatan budaya itu, memperingati kedatangan Opu Daeng Menambon ke Mempawah. Opu merupakan pendiri Kota Mempawah.
Mempawah merupakan ibu kota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Pontianak, perjalanan dapat ditempuh dengan waktu sekitar satu jam. Jaraknya sekitar 40 km. Meski agak bergelombang, jalan relatif mulus dan beraspal. Tanah gambut membuat jalan selalu ambles dan retak, terutama pada setiap sambungan jembatan.
Hari itu, saya berkendara menuju Mempawah. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, di beberapa daerah, saya berhenti untuk melihat prosesi itu. Masyarakat Bugis yang tersebar di sepanjang garis pantai utara Kalimantan Barat, mulai dari Mempawah, Sungai Purun, Segedong, Sungai Kakap, Kubu Raya, dan lainnya, melakukan kegiatan Robo-robo.
Di Sungai Purun, 22 km dari Pontianak, saya berhenti di SD 1 Sungai Purun. Pagi itu, semua murid di sana, yang terdiri dari beragam etnis berkumpul. Ada suku Bugis, Jawa, Tionghoa, Melayu, Dayak, Madura, dan lainnya. Mereka membawa ketupat, lepat lao, apam, atau makanan kecil lainnya. Ketupat merupakan makanan wajib yang harus dibawa.
Saya menghampiri seorang murid.
”Bawa apa itu?”
”Ketupat.”
”Bawa berapa?”
”Empat butik.”
Murid itu bernama Sahrul (9). Sambil berkata, ia memperlihatkan ketupat di kantong kresek warna hitam yang dibawanya. Ketupat berisi mie, sambal dan rebon udang.
Tak hanya Sahrul yang bawa ketupat ke sekolah. Sarnela dan Edi Gunawan, murid kelas 3, juga bawa. Sebagian besar siswa di sana, membawa makanan. Namun, ada sebagian siswa tak bawa makanan.
Tak hanya siswa. Guru juga bawa ketupat. Sebagai lauk, ada opor ayam, ikan, telur dan lainnya. Menjelang pukul 8.00 wib, siswa kumpul dan berderet di depan kelas. Mereka duduk memanjang dan berderet di lantai sekolah yang terbuat dari kayu.
Pipin (38), guru olah raga, segera membawa nampan dan mengedarkan ke barisan siswa. Siswa meletakkan satu atau dua ketupat yang mereka bawa ke nampan. Dalam sekejap, nampan itu telah penuh. Ketupat segera dibagikan lagi pada siswa yang tak bawa makanan.
Sebelum siswa dan guru makan bareng, guru agama membaca doa. Do’a tolak bala. Berisi harapan supaya kehidupan yang dijalani, dijauhkan dari malapetaka. Dalam kegiatan itu, soal makanan nomor dua. Yang penting kumpul bareng antara siswa dan guru.
“Apa makna Robo-robo?” tanya saya.
“Robo-robo punya nilai kebersamaan dan kesatuan,” jawab Pipin.
Setelah makan bareng, diikuti dengan berbagai kegiatan. Ada pertandingan olah raga atau perlombaan. Ada lomba makan kerupuk, panjat pinang, tarik tambang dan lainnya.
Wagiyem (57), sudah mengajar di SD 1 sejak 1977. menurutnya, setiap tahun kegiatan itu pasti diadakan. “Biarpun kecil, kegiatan memperingati Robo-robo selalu dilakukan,” kata Wagiyem.
Sang kepala sekolah, Surip (50), baru empat tahun mengajar di sana. Ia berasal dari Jawa. Meski bukan suku Bugis, ia juga merayakannya. Ini bentuk pembauran dan mengikuti perkembangan lingkungan. ”Ada kebersamaan dan saling menghargai,” kata Surip.
Pagi itu, tak hanya murid di SD itu yang makan bersama. Masyarakat Bugis di sepanjang jalan dari Pontianak menuju Mempawah, memperingati acara Robo-Robo dengan makan bersama keluarga di luar rumah. Mereka percaya, hal itu merupakan satu cara melakukan talak balak dalam kehidupan yang mereka jalani, kelak.
Selepas mengikuti kegiatan di SD itu, saya melanjutkan perjalanan ke Kota Mempawah. Mempawah merupakan kota transit. Meski terlihat bersih dan tertata, dari segi pembangunan, kota ini terlihat jalan ditempat. Tak ada sentra industri atau kegiatan ekonomi yang cukup berarti di sini.
Yang bisa menunjukkan bahwa kota ini ada, karena di sini ada berbagai bangunan dan kantor pemerintah. Itupun, sebagian besar pekerja dan pegawainya, tinggal di Kota Pontianak. Mereka pulang hari, setelah bekerja.
Tiba di Kuala Mempawah, suasana sudah terlihat ramai. Jalanan penuh orang. Di sudut kiri dan kanan jalan, orang mendirikan warung kecil. Ada warung makan dan minuman, pakaian, suvenir, dan lainnya. Pendirian warung di Kuala Mempawah, berlangsung setahun sekali. Pas, pelaksanaan ritual Robo-robo.
Kuala Mempawah merupakan pertemuan antara Sungai Mempawah dan Laut Cina Selatan. Tempat ini menjadi pusat dari pelaksanaan kegiatan Robo-robo. Tempat ini dibagi dua. Sisi sebelah kiri menjadi pelabuhan penangkapan ikan, dan sebelah kanan pusat armada Angkatan Laut.
Pelaksanaan kegiatan Robo-robo dipusatkan di sebelah kiri Kuala Mempawah. Sebuah tenda besar berisi kursi dan tenda berdiri di sana. Pagi itu, Cornelis, Gubernur Kalbar dan beberapa pejabat teras di Kabupaten Pontianak, hadir di sana.
Saya mengikuti sebuah perahu yang menuju ke ujung Kuala Mempawah. Di pinggir laut itu, puluhan perahu telah berada di sana. Semua perahu dalam kondisi diam, dan melempar sebuah jangkar, agar perahu tak terseret ombak.
Sebuah perahu warna kuning, terlihat mencolok berada di antara puluhan perahu. Perahu ini bernama Lancang Kuning, yang merupakan perahu Kerajaan Amantubillah Mempawah. Di dalam perahu itu, puluhan orang mengenakan seragam kebesaran kerajaan. Ada warna kuning, merah, hitam dan lainnya. Berbagai simbol dan bendera kerajaan berkibar diterpa angin.
Pagi itu, laut di pinggir kuala terasa beda. Kesemarakan warna-warni bendera, baju, dan berbagai perlengkapan upacara, terasa kontras dengan warna langit yang mendung dan gelap.
Dari arah laut, nampak sebuah perahu berisi puluhan orang sedang mendekati kuala. Perahu itu diikuti puluhan perahu kecil. Perahu agak besar itu berisi raja Kerajaan Amantubillah, Mempawah, Pangeran Ratu DR. Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim. Ia menggunakan perahu Bedar.
Sejenak kemudian, perahu Bedar mendekati perahu warna kuning. Pangeran Pemangku Adat yang berada di perahu Lancang Kuning, segera melakukan ritual Buang-buang.
Perangkat Buang-buang terdiri dari telur ayam, bertih, kemenyan, dan setanggi. Telur ayam diulas atau diusap dengan minyak wangi. Telur melambangkan awal kehidupan. Bertih adalah padi dari beras kuning yang diongseng. Padi melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Kemakmuran di seluruh penjuru angin, air, dan darat.
Setelah Pemangku Adat membacakan doa, semua perangkat Buang-buang dilempar ke laut. Selepas acara Buang-buang, Pemangku Adat mengumandangkan azan dan do’a talak balak.
Buang-buang mempunyai makna, ada keterikatan dan silaturahmi dengan air. Di air ada mahluk dan kehidupan. Ini sangat khas sekali dengan budaya dan tradisi masyarakat Bugis, yang tidak bisa dipisahkan dengan air. Sebagai pelaut, masyarakat Bugis selalu dekat dengan air. Air tak bisa dipisahkan dengan kehidupan orang Bugis. Mereka terkenal sebagai pelaut yang mengarungi berbagai lautan.
Inilah makna dan inti dari Robo-robo. Penyambutan Opu Daeng Menambon, ketika berlayar menuju Kuala Mempawah dari Kerajaan Tayan di Kalbar. Tayan sekarang ini termasuk wilayah Kabupaten Ketapang.
Ketika itu, 1737 Masehi atau 1148 Hijriah, seluruh masyarakat di Mempawah menyambut dengan antusias kedatangan Opu Daeng Menambon. Masyarakat berdiri di sepanjang bantaran sungai Mempawah. Sangking senangnya, Opu Daeng Menambon melemparkan sisa bekalnya berupa ketupat kepada masyarakat.
Nah, sekarang ini, setiap memperingati acara Robo-robo, ketupat merupakan makanan yang harus selalu dihidangkan. Robo-robo merupakan napak tilas Opu Daeng Menambon dan istrinya. Opu keturunan Bugis dan Melayu. Istrinya, Ratu Kesumba, keturunan Dayak, Melayu dan Jawa. Opu punya panglima dari berbagai suku. Patih Kumantar, Panglima Itam dari Dayak. Panglima Amangkuru, Parewang, Sigentas Alam, dari Melayu. Lo Tai Pak, dari etnis Tionghoa. Karaeng Talibe, Matalampang, Bontiak, dari Bugis. Panglima Daeng Siti Fatimah, anak Sultan Hasanudin, meninggal dan dimakamkan di Tanjung Matoa, Kalbar.
Makam Opu Daeng Menambon terletak di atas bukit. Jauhnya sekitar 8 kilometer dari Mempawah. Makam itu dijaga oleh juru kunci makam. Ia seorang Mukti, atau orang yang ahli dalam masalah agama. Namanya, Gusti Amar. Juru kunci dipilih karena garis keturunan.
Makam terletak di atas bukit. Dari bawah menuju puncak bukit, melalui tangga semen sebanyak 256 undak. Ada mitos mengatakan, bila orang menghitungnya dari bawah, jumlahnya tidak akan sama setiap orang.
Selesai ritual Buang-buang, perahu Bedar dan Lancang Kuning segera menyusuri Sungai Mempawah, menuju tempat berlangsungnya upacara. Di panggung kegiatan, puluhan pejabat dan undangan sudah hadir. Ribuan masyarakat dengan sabar berdiri di sisi kiri dan kanan sungai. Mereka dengan antusias menunggu pelaksanaan kegiatan, dan perlombaan perahu yang bakal dilaksanakan, selepas upacara selesai.
Selepas kegiatan seremonial, kegiatan para pejabat dan undangan dilanjutkan di Istana Amantubillah. Bangunan Istana Amantubillah mempunyai karakteristik khas sebagai bangunan Melayu. Seluruhnya dari kayu belian atau kayu besi. Ini jenis kayu paling kuat dan keras dari Kalimantan. Bangunan dari kayu belian sanggup bertahan hingga ratusan tahun lamanya.
Seluruh bangunan istana dicat dengan warna biru muda. Di sebelah kiri bangunan utama, ada ruang untuk menyimpang peralatan musik, sejenis gamelan. Ada gong, kimung, dan lainnya. Seluruh peralatan ini, merupakan persembahan dan oleh-oleh dari kerajaan Jawa, ratusan tahun silam. Dua buah meriam tergeletak di sisi kiri dan kanan halaman istana.
Istana Amantubillah mempunyai lambang ayam jantan dan buaya. Ayam warna hitam dan putih. Ayam melambangkan kejantanan dan keberanian. Hitam melambangkan kejahatan, putih kebaikan. Artinya, kehidupan jangan terlalu memandang duniawi. Buaya melambangkan keperkasaan, kekuatan, dan keperkasaan.
Sekarang ini, mereka yang memegang tampuk dan kerabat istana, merupakan generasi ke 13 dari Opu Daeng Menambon. Ada hirarki dan struktur di Istana Amantubillah. Masing-masing memiliki tugas tersendiri.
Jabatan tertinggi dipegang Pangeran Ratu, berperan dalam urusan kenegaraan. Tugas ini dipegang oleh Mardan Adijaya. Pangeran Pemangku Adat, mengurusi masalah adat, dipegang Gusti Zulkarnaen. Pangeran Laksamana, berhubungan dengan kelaskaran, prajurit atau massa, dipegang Gusti Heri Ansari. Pangeran Bendahara, berhubungan dengan managerial dan urusan rumah tangga Istana, dipegang oleh Utin Sri Beta Candramidi.
Penunjukkan jabatan berdasarkan pada aura kepemimpinan, kecakapan pada diri orang yang menjadi anak dari para pewaris istana. Penunjukkan diputuskan melalui rapat Majelis Amantubillah, dilihat dari keturunan terdekat dengan keluarga sebelumnya.
Siang itu, seluruh undangan dari berbagai kerajaan di Nusantara hadir. Ada utusan dari Kerajaan Sambas, Sintang, Landak, Sekadau, Tayan, Kubu, Ketapang, Solo, dan Kanoman. Tamu dijamu di Istana Amantubillah dengan saprahan.
Hidangan makanan Saprahan dijaga rasa dan keasliannya. Endun, juru masak istana mengemukakan, dalam saprahan menunya khas. Antara lain, udang sere, ikan pindang, ayam opor, osengan, dan sop.
Minumannya, air serbet, terbuat dari serai cengkeh, kayu manis dan cengkeh. Minuman ini berfungsi mengembalikan kesehatan tubuh. Kue terdiri dari bingka labu kuning, kue jorong, tepung beras dibungkus daun pandang wangi. Makanan yang tak boleh diubah, ayam masak putih dan udang sere. Kue jorong tak boleh tertinggal. Setiap tahun harus ada.
Dengan melaksanakan ritual Robo-robo setiap tahun, para kerabat Istana Amantubillah, merasa bisa menjaga dan meneruskan puak Opu Daeng Menambon. Selain itu, menghormati dan menjaga tradisi warisan turun-temurun, sehingga tetap eksis.□
Tidak ada komentar:
Posting Komentar